Makalah Suku Tidore

BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang
Indonesia merupaka negara yang mempunyai beragam budaya.salah satu kota bagian timur indonesia ini memiliki banyak sekali budaya, yaitu tradisi-tradisi dari nenek moyang mereka yang sampai sekarang terus di lestarika . kota ini adalah kota TIDORE . Tidore adalah salah satu pulau yang di kelilingi beberapa pulau di wilayah timur. Tidore ini juga bisa di lihat pulaunya melalui uang seribu rupiah. Yang mempunyai banyak budaya.. Masyarakat di sana pun sangat antusias. Pulau tidore atau yang sekarang di sebut kota tidore ini sangat menjaga kekayaan alam nya ,contoh kekayaan alam yang paling di jaga adalah laut, masyarakat di kota ini sangat menjaga kebersihan lautnya karena laut ini menjadi salah satu mata pencaharian utama mereka.
Di tidore masih memiliki suku asli nya sendiri yaitu suku BOBO . suku BOBO ini memiliki persamaan dengan suku papua mulai dari kulit,rambut,sampai bahasa. Persamaan di sini bukan dalam arti yang sama persis, tapi perbedaannya sangat tipis. Penduduk asli kota ini juga mengikuti perkembangan zaman tapi tidak melupakkan adat atau tradisi-tradisi dari leluhur mereka.

1.2 Tujuan
1.      Asal usul kehidupan suku tidore
2.      Filosofi kehidupan suku tidore
3.      Tradisi suku tidore

4.      Tata cara kehidupan suku tidore


BAB II
SEJARAH
2.1 Asal Usul Suku Tidore
Suku Tidore berdiam di Pulau Tidore, yang termasuk wilayah Kabupaten Halmahera Tengah, Propinsi Maluku. Di wilayah itu, terutama di Soa-siu, ibukota kecamatan, berdiam pula anggota suku bangsa lain, sedangkan di desa-desa Pulau Tidore penduduknya yang dominan orang Tidore. Orang Tidore mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Tidore. Di samping itu mereka juga memahami bahasa Ternate yang sejak lama menjadi lingua franca di kawasan Halmahera. Para pengamat kebudayaan didaerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah pernah membuat pembagian daerah kebudayaan, yaitu Daerah Kebudayaan Ternate, Daerah Kebudayaan Tidore, dan Daerah Kebudayaan Bacan. Daerah Kebudayaan Tidore sendiri mencakup Kepulauan Tidore, dan Halmahera Tengah/Timur.
Masyarakat Tidore
Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Tidore adalah bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, berdagang, atau menjadi pegawai negeri. Di ladang mereka menanam padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan kacang hijau. Tanaman yang penting adalah cengkeh, pala, kelapa, coklat. Dalam hal kekerabatan mereka menarik garis keturunan berdasarkan prinsip patrilineal. Salah satu kelompok kekerabatan yang penting adalah klen patrilineal, yang mereka sebut soa. Perkawinan ideal menurut adat mereka adalah kawin antara saudara sepupu (kufu). Adat menetap sesudah nikahnya utrolokal, artinya sepasang pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau di lingkungan kerabat istri. Jojaru ( perempuan beranjak Remaja).

Pantai Tidore
2.2 Agama / Kepercayaan
Suku Tidore umumnya beragama Islam. Tidore juga merupakan salah satu pusat pengembangan agama Islam di Maluku. Setiap desa ditandai oleh mesjid atau surau. Para pemimpin informal di desa-desa terdiri atas ustadz atau ulama.
2.3 Kebutuhan
Walaupun di daerah Maluku kaya akan sumber alam, namun ternyata banyak menyimpan desa miskin atau tertinggal. Saat ini yang dibutuhkan suku Tidore di Maluku ini adalah usaha menggerakkan ekonomi masyarakat, yaitu lewat diversifikasikan dalam pertanian, antara penanaman buah-buahann yang memiliki nilai ekonomis. Untuk pemasarannya, dibutuhkan usaha mewujudkan perhubungan terpadu, karena selama ini ternyata masing-masing subsektor berjalan sendiri-sindiri. Dibidang kesehatan, orang Tidore membutuhkan penambahan rumah sakit dan tenaga medis.
2.4 Pokok Doa
sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhintung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru : "Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba.
Berdoa agar Tuhan mencurahkan Roh Kudus, berkat dan kasihNya di tengah-tengah suku Tidore, agar terang dan kemuliaan Tuhan bercahaya di atasnya. Berdoa agar hati mereka disentuh oleh kasih Tuhan melalui berbagai cara dan mereka yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.
Berdoa agar Tuhan yang empunya tuaian membangkitkan gerejaNya untuk bersatu dan bekerjasama, menyediakan pekerja : pendoa syafaat, penerjemah Alkitab, kaum profesional, penabur dan penuai untuk memberkati dan meningkatkan kesejahteraan hidup suku Tidore
Berdoa bagi adanya lembaga & gereja yang digerakkan oleh Tuhan untuk mengadopsi suku Tidore yang juga berbeban dalam meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
2.5 Nenek Moyang Suku Tidore
Nenek moyang suku Tidore sama halnya dengan dengan nenek moyang dari wilayah lainnya seperti dari pulau Halmahera dan pulau-pulau lainnya. Kebiasaan nenek moyang selalu identik dengan perang adat (perebutan kekuasaan) dan bertahan hidup. Konon menurut cerita turun temurun Nenek moyang orang Tidore hanya berani bermukim di pesisir pulau baik di Tidore hingga mencakupi Halmahera (Berhadapan dengan Tidore) sebab konon pula wilayah dalam atau dikenal dengan “Gam Tina” (pedalaman hutan/pegunungan) masih didominasi Kaum pribumi dari bangsa Jin. Di Maluku Utara lebih dikenal dengan nama “Mansia kornono”atau Orang gelap. Tak ada kronologi yang menjelaskan pengaturan tata kehidupan di Tidore namun dalam catatan sejarah (1626-1631) menjelaskan bahwa saat ituTidore memiliki dua masyarakat pribumi yakni Pribumi Manusia atau Masyarakat terang dengan sebutan “Bala Sita-sita” yang dipimpin oleh keturunan dari Jou Kolano (Raja Tidore) Syahjati alias Nakil putera dari imam Maulana Djaffar Asshidik dan Jou Boki Nursafa yakni Jou Kolano Ngora Malamo alias Sultan Alauddin Syah dan Pribumi Jin atau masyarakat gelap dengan sebutan “Bala Kornono” yang dipimpin oleh Jou Kolano Jin Tomabanga.

BAB III
TRADISI SUKU

3.1 Tradisi Suku Tidore
Tradisi kuno Suku Tidore masih melekat hingga kini yakni sarat akan kehidupan animisme (Menyembah Roh nenek moyang) dan bersahabat dengan kaum Jin. Meski pada persoalan Animisme dalam agama Islam bertolak belakang, namun para Ulama penyebar Islam di tanah Maluku Utara berhasil (Syekh Yaqub hingga Imam Djafar serta ulama lainnya) mampu dan berhasil memberikan pengetahuan dasar hakekat (Guna memberikan pemahaman akan kosmo kekuasaan dan khalayak kepemimpinan alam yang sebenarnya) lewat pengenalan identitas ketuhanan (Illahi) tanpa menggeser fondasi keimanan utama masyarakat akan kepercayaan peran (Roh) nenek moyang dalam kehidupan dan adatnya yang diimani jauh sejak Islam ada. Para ulama paham dengan kondisi ini olehnya itu konsekuensinya adalah Islam harus dikenalkan dengan tingkat yang jauh lebih tinggi dengan metode yang tinggi pula tak seperti di jawa (Wali Songo) dengan pendekatan Syariat-Kulturalnya. Usaha islamisasi agak berbeda dan sulit karena masyarakat (Maluku Utara kuno) saat itu telah maju secara pemikiran (Bijaksana) dan memiliki bakat alami yang mumpuni (Sakti).
Itulah mengapa Tidore sarat dan kental akan penganut Islam Tarikat, Pengetahuan Islam yang tingkatannya jauh dan lebih tinggi karena orientasi pengislaman saat itu memang demikian. Landasan dan falsafah sosial yang kini melekat di Tidore daripada usaha para ulama Ulama dengan toleransi ide dan kebijaksanaan para kaum pribumi dalam menerima membantu proses Islamisasi masyarakat kini melahirkan satu kekuatan fondasi sosial yakni “Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah”.” Yang artinya adat bersendi pada syariat (Islam) dan Syariat (Islam) yang bersendi pada kitab Allah SWT (Al-Qur’an).  Olehnya itu setiap tata budaya yang dilaksanakan oleh adat Tidore tak pernah keluar dari garis islam dan ketata-sosialannya sebagaimana peradaban islam lainnya yakni : Tata krama (Kesopanan dan kesusilaan), Etika (Perilaku) dan norma-norma islam.
Adat Perkawinan Tidore
Pelaksanaan perkawinan ditata melewati mekanisme formal layaknya mekanisme umum seperti lamaran hingga pelaksanaan akad, pada adat tidore mekanismenya sebagai beriku  :
Sari Oras Malaha (Mencari dan menentukan waktu baik)
Kegiatan ini berlangsung sesaat setelah keluarga calon mempelai wanita menerima belanja yang diantarkan oleh keluarga calon mempelai laki-laki. Penentuan bulan, hari dan jam didasarkan pada “saat dan kutika” menurut perhitungan Syaidina Imamul Djafar Sadek.
Malam Rorio (Malam kunjungan dan gotong royong)
Kegiatan ini berlangsung semalam sebelum akad nikah dilaksanakan sekitar pukul 19.00 – 23.00. Biasanya wanita /ibu-ibu dari kedua belah pihak keluarga datang membawa hantaran ”antar rorio” untuk persiapan kerja esoknya. Tradisi “rorio” bermakna saling menolong. Mereka yang datang pada malam tersebut ke rumah calon pengantin wanita membawa “rorio” dalam bentuk sadaqah beramplop dan balasannya adalah satu dos/bungkus kue ‘rorio’. Malam ini juga biasanya digunakan oleh muda /mudi untuk datang melihat ranjang pengantin yang telah dihiasi (honyoli tua se guba).
MUSUSU LAHI(Masuk Minta / Meminang)
Adalah proses lamaran dari kaum pria yang ditemani oleh pihak keluarga atau wali keluarga. Dalam prosesi ini kaum pria yang diwakili oleh wali/orantua menyatakan ungkapannya akan keinginan mempersunting si perempuan.
PAKA DEN (Naik ranjang)
Paka den atau naik tempat tidur (pingitan) biasanya tiga hari jelang akad nikah, calon pengantin wanita maupun pengantin pria mengenakan pakaian adat dan sekujur tubuhnya dilulurkan bedak tradisional (pupu lade) yang sebelumnya dibacakan doa-doa. Acara ini memaknai membersihkan diri memasuki alam rumah tangga. Bagi perempuan ini tradisi ini disebut Wadaka (Dengan menggunakan bedak/semacam rempah kosmetik hingga pada hari kedua mempelai bertemu di hari puncak)
HOGO JAKO (Mandi membersihkan)
Prosesi ini berlangsung di kediaman mempelai wanita. Utusan calon pengantin wanita dengan menggunakan baju adat menjemput calon pengantin pria. Calon pengantin wanita duduk diatas pangkuan seorang wanita muda dan calon pengantin pria dipangku seorang lelaki muda. Mereka dililitkan dengan kain putih dan kepalanya juga ditutupi kain putih. Didepan pengantin berdiri para wanita paru baya (yaya goa) dengan busana adat (dao) selaku pelaksana prosesi memandikan dan mengusapkan (hogo jako) kedua calon pengantin. Perlengkapan hogo jako terdiri dari bambu (dibu) berisi air yang dililitkan dengan kain putih, telur, buah pisang raja mentah, pinang, mayang pinang yang didalamnya berisi sumbu (jumlahnya ganjil), sirih, kapur, pelita, uang koin, daun beringin putih, daun pohon jawa, dan daun goliho. Makna acara ini adalah upaya menolak segala bencana atau marabahaya menjelang pernikahan maupun sesudahnya. Hogo jako juga dipergunakan pada acara Khitanan.
GOLU (Sarang laba-laba / masuk kamar pengantin).
Menandakan jalan tersebut belum dilalui oleh siapapun (sang wanita  belum dinikahi oleh orang lain sebelumnya).  Akad nikah dilaksanakan menurut syariat Islam, yaitu diawali dengan khotbah nikah, Idzab Kabul, ucapan sighat taklik dan diakhiri dengan pambacaan doa. Sesudah Idzab Kabul, pengantin pria masuk ke kamar pengantin wanita (bathal wudhu). Biasanya kamar pengantin wanita dikunci rapat oleh kerabat pengantin wanita. Pintu dibuka setelah pendamping pengantin laki-laki melempari koin golu berulang-ulang ke dalam kamar pengantin wanita.
ORO BARAKATI SE SILOLOA (Ambil berkat dan bersuara)
Oro barakati sama halnya dengan mengambil / meminta berkat dari kedua mempelai kepada orang tua atau wali dan kerabat dekatnya. Seusai oro barakat dilanjutkan dengan siloloa dari seseorang yang mewakili pihak kedua keluarga pengantin menyampaikan siloloa atau sekedar prakata kepada yang hadir (menyampaikan sedikit perihal kedua mempelai, mohon maaf atas kekurangan dalam pelayanan dan seterusnya, juga ucapan terima kasih atas segala partisipasi). Siloloa juga dilakukan pada acara-acara lain seperti jelang keberangkatan Jenazah dari rumah duka.
MUNARA FOU SARO (Makanan hidangan) 
Seperangkat makanan adat khas Tidore, dihidangkan di atas meja yang diatur dan ditata sedemikian rupa, dan disantap oleh orang-orang yang mengenakan pakaian adat pula. Makanan adat sebelum disantap, dimasukan (disarokan) ke dalam kain putih (di atas taplak meja berwarna putih dan ditutupi kain berwarna putih). Masyarakat Tidore mengenal 3 (tiga) tingkatan pada ngam saro.
DOWARO
Yaitu suatu ungkapan dari seorang pawang/joguru yang menceriterakan dengan kata-kata bermakna tentang arti secara simbolis, setiap jenis makanan adat yang disuguhkan dalam acara tersebut. Juga ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, juga kepada seluruh yang telah berpartisipasi. Dowaro ini juga diucapkan oleh pawang/joguru pada acara dina kematian (biasanya pada dina besar hari ke–7 atau ke-9), dan dapat pula diucapkan pada hajatan lainnya seperti peresmian lembaga-lembaga adat dan lembaga-lembaga pemerintah/kerajaan.


BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Suku Tidore merupakan salah satu dari ragam suku yang berada di Indonesia, Indonesia banyak sekali mempunyai budaya, dan salah satu budaya timur Indonesia yaitu berada di kota Tidore. Tidore merupakan salah satu pulau yang dikelilingi beberapa pulau di wilayah timur. Masyarakat Tidore sangat menjaga kekayaan alamnya, contoh kekayaan alam di Tidore adalah laut, masyarakat di kota ini sangat menjaga kebersihan lautnya karena laut ini menjadi salah satu mata pencaharian utama mereka.
Tradisi kuno Suku Tidore masih melekat hingga kini yakni sarat akan kehidupan animisme (Menyembah Roh nenek moyang) dan bersahabat dengan kaum Jin. Meski pada persoalan Animisme dalam agama Islam bertolak belakang, namun para Ulama penyebar Islam di tanah Maluku Utara berhasil (Syekh Yaqub hingga Imam Djafar serta ulama lainnya) mampu dan berhasil memberikan pengetahuan dasar hakekat (Guna memberikan pemahaman akan kosmo kekuasaan dan khalayak kepemimpinan alam yang sebenarnya) lewat pengenalan identitas ketuhanan (Illahi) tanpa menggeser fondasi keimanan utama masyarakat akan kepercayaan peran (Roh) nenek moyang dalam kehidupan dan adatnya yang diimani jauh sejak Islam ada. Para ulama paham dengan kondisi ini olehnya itu konsekuensinya adalah Islam harus dikenalkan dengan tingkat yang jauh lebih tinggi dengan metode yang tinggi pula tak seperti di jawa (Wali Songo) dengan pendekatan Syariat-Kulturalnya. Usaha islamisasi agak berbeda dan sulit karena masyarakat (Maluku Utara kuno) saat itu telah maju secara pemikiran (Bijaksana) dan memiliki bakat alami yang mumpuni (Sakti). Dengan masih adanya suku di Indonesia, seharusnya kita melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada. Sehingga suku atau budaya di Indonesia tidak sirna dengan perkembangan zaman yang sekarang sedang berkembang.

DAFTAR PUSTAKA
http://sudibyo-outside.blogspot.co.id/2015/06/tugas-ibd-2-suku-tidore.html di akses tanggal 6 November 2015 jam 13:00
http://catperku.com/ternate-dan-tidore-spice-island-yang-abadi-di-uang-rp-1-000-bagian-2-tidore/ di akses tanggal 6 November 2015 jam 14:00

1 comments to "Makalah Suku Tidore"

Salam,

Saya pernah dengar lagu Tidore yang kalau tidak salah judulnya "To Lulu Lulu". Saya suka sekali lagu itu, namun file yang saya punya hilang. Dan saya sudah mencari-cari di internet untuk mendownload lagu tsb, tapi sayangnya hingga saat ini masih belum ketemu. Kalau boleh minta tolong, kasih tau saya link untuk mendownload lagu tsb. Atau boleh kirim ke email saya 0n3n0n3@gmail.com . Terima kasih.

Please comment fit the theme , use words that are wise in commenting (no ads , no porn , no spam ) . Comments that include an active link , advertising , or entrusted link , will be incorporated into the SPAM folder . Thanks.

Back To Top